+62 (0717) 422145
Link Penting UBB

Artikel Feature UBB

Universitas Bangka Belitung's Feature
20 April 2009 | 12:20:19 WIB


Mengkritisi Rumah Adat Bangka Belitung (BABEL) Di TMII


Apapun nama dan alasannya ketika sebuah bangunan etnik yang di bangun di kawasan anjungan budaya sebuah provinsi di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Asumsi para pengunjung tetap akan melihat bangunan di anjungan tersebut sebagai rumah adat! Bagaimana dengan bangunan di anjungan Provinsi Bangka Belitung?

Dalam sejarah budaya dan tradisi Bangka dan Belitung, kita tidak mengenal adanya rumah tradisi dan rumah adat bertingkat dua seperti layaknya rumah susun di abad modern! Ini betul-betul sebuah kebodohan terhadap pengetahuan sejarah budaya masyarakatnya atau pembodohan terhadap pengetahuan yang mesti diserap oleh generasi mendatang. Pembodohan ini lantas ditularkan kepada bangsa atau etnik lain ke seluruh Indonesia bahkan dunia; seolah-olah inilah rumah adat Bangka dan Belitung yang sekarang menyatu menjadi wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Dengan terbangunnya rumah dianjungan tersebut, dari konsepnya yang moderen (prototype dua tingkat atau berlantai dua) seolah-olah wilayah Bangka dan Belitung pada masa dahulu telah memilki kebudayaan yang super maju. Cobalah pelajari sejarah budaya peninggalan kerajaan-kerajaan besar di Indonesia seperti Mataram, Banten, Surakarta, Siak, Padang, Palembang dan lainnya tak ada rumah adatnya yang bertingkat dua seperti rumah susun.

Jika pun kita bandingkan dengan Kalimantan Barat yang nampak rumah adatnya bertingkat, itu masih tergolong sangat wajar karena Kalimantan Barat atau Pontianak adalah wilayah kesultanan. Sedang Bangka dan Belitung tidak pernah adanya kesultanan atau keprabuan meski Bangka dan Belitung memiliki wilayah Hukum Adatnya tersendiri karena di Belitung pernah berkuasa kerajaan sejak Badau hingga Balok yang berakhir di awal abad ke 19. Sedang Wilayah Bangka di kuasai Banten hingga Palembang dan berakhir seiring mundurnya Kesultanan Palembang.

Konsep rumah adat yang bertingkat seperti rumah susun di anjungan Provinsi Bangka Belitung jelas sekali merupakan konsep yang tidak berakar dari tradisi dan budaya Bangka dan Belitung. Padahal jika mau jujur Provinsi kita memiliki kekayaan Rumah Adat Belitong yang disebut Ruma Gede dan di Bangka kita mengenal adanya rumah Tradisi Melayu Bangka. Jika mau jujur pada sejarah, sesungguhnya kita bisa membangun dua bentuk rumah ini secara bergandengan yang menunjukan jika Bangka dan Belitung adalah dua kesatuan yang tak terpisahkan! Dengan simbolisasi dua kesatuan itulah sesungguhnya kita menjadi kuat, kaya, harmonis, setara, dan mampu bergandengan tangan menuju peradaban yang kita impikan.

Padahal jika kita mau berkaca kepada provinsi lainnya seperti Maluku, Nusa Tenggara Timur, Irianjaya (Papua), bahkan lainnya. Mereka tetap menempatkan tipe rumah tradisi atau rumah adat yang aslinya, bukan rumah rekayasa! Kita patut berbangga pada kejujuran sikap budaya saudara kita masyarakat etnik Papua yang menempatkan bangunan rumah tradisi yang teramat sederhana yaitu rumah Honai.

Jadi sesungguhnya, Bangka Belitung dalam sejarah budaya dan tradisinya tak mengenal adanya rumah bertingkat dua seperti layaknya rumah susun moderen. Kerajaan atau Kesultanan Melayu pun tak memiliki rumah adat bersusun dua tersebut. Apa sesungguhnya yang terjadi betulkah kita sedang membangun peradaban tanpa melihat akar budaya kita? Maka tak heran jika seorang yang berpengetahuan budaya melihat rumah anjungan kita; akan hanya akan tersenyum dalam hati, seolah-olah sungguh peradaban Bangka Belitung telah maju di abad lalu. Sedang bagi masyarakat awam; jelas sekali, telah disuguhi pengetahuan peradaban yang tidak semestinya, alias pembohongan. Sekali lagi Bangka Belitung tak mengenal arsitektur rumah adat juga rumah tradisinya berlantai dua seperti rumah susun abad moderen.


Rumah Tradisi Bangka

Rumah tradisi Bangka sudah dikenal memiliki sembilan tiang sebagai penopang kekuatan bangunannya yang kemudian disebut dengan istilah Falsafah Sembilan Tiang. Filosofi itu jelas sekali menunjukan bahwa masyarakat Bangka menjunjung sebuah kearifan yang eksotik terhadap tempat bernaung mereka; membangun akar peradaban jelas sekali mesti tumbuh dari rumah tinggal di mana anggota keluarga dibesarkan dan dididik sehingga memiliki nilai-nilai budaya dalam menempuh peradabannya.

Mengapa tak ada rumah betingkat dua dii masyarakat tradisional Bangka? Jika menilik perilaku budi pekerti atau nilai fiil masyarakat tradisional Bangka dan Belitung kita mengenal sebuah adat yang tidak membolehkan anak muda menempati posisi duduk lebih tinggi dari orang tua apalagi sampai tidur di tempat lebih tinggi dari posisi orang tua; ada adab kesantunan yang melarangnya maka hukum kepercayaannya disebut Takut Tulah Padahal sesungguhnya, ini bentuk sebuah sikap atau kearifan untuk pembinaan jika orangtua mestilah dihargai dan di hormati sebagai sumber adanya keberadaan atau eksistensi lahir dan batin si anak. Maka dengan itu masyarakat tradisional Bangka tak mengenal adanya rumah bertingkat dua. Supaya generasi muda mereka memiliki adab yang baik, faham cara menghargai generasi tua mereka.

Jika orang tua tradisional Bangka menganggap dirinya adalah sumber lahir batin bagi anak-anaknya, mengapa dia tak membangun rumah tingkat sebagai perwujudan simbol status. Tentu saja itu tak ada dalam kultur mereka, masyarakat tradisonal Bangka tidak mengenal kasta dan Monarchi. Sebagai masyarakat rumpun Melayu, masyarakat Bangka memiliki kesamaan derajat dan beragama Islam, maka mereka sadar jika yang lebih tinggi itu hanya Yang Maha Kuasa atau dalam agama mereka Allah Yang Maha Besar! Maka hanya Surau dan Mesjidlah yang selalu mereka bangun bertingkat, itupun dalam bentuk simbol kubahnya.


Rumah Adat Belitong

Rumah tradisional Belitung atau Belitong disebut rumah panggong karena rumah tersebut selalu memakai tiang. Rumah tradisi ini adalah rumah kebanyakan yang dimiliki masyarakat setempat karenanya pada tahun 2000, tim perumus rumah adat dan pakaian adat dengan pengetahuan yang dimilki mereka saat itu, merumuskan bahwa Rumah Adat Belitung disebut Ruma Panggong (yang diupayakan Kecamatan Tanjung Pandan Belitung pada tahun 2000).

Sesungguhnya rumah adat sangat berbeda sekali dengan rumah tradisi sebagaimana yang diupayakan oleh tim perumus tersebut. Rumah adat jika dikaji secara harfiah berarti rumah hukum maka rumah adat hanya di bangun penguasa adat atau penguasa hukum di dalam wilayahnya. Baik oleh raja, sultan atau penguasa adat lainnya. Belitung tentu memiliki rumah adat yang disebut dengan "Ruma Gede" mengapa disebut demikian: Pertama, ia dibangun terpisah dari balairung raja. Kedua, dia dibangun lebih besar dari balairung ataupun istana raja maka ia di sebut Ruma Gede atau rumah besar. Ketiga, dia memang dibangun pada masa Depati Cakraninggrat I yang bernama Ki Gede Yakob. Para orangtua meriwayattkan ini turun temurun dengan sebutan Ruma Gede atau Rumah Ki Gede.

Adanya rumah adat atau Ruma Gede pertama kali disebut dalam sejarah oleh orang Belanda bernama Jan de Harde, tahun 1668 memakai kapal De Zandloper singgah di komplek kerajaan Balok Belitung. Dialah yang menggambarkan situasi dan kondisi kerajaan Balok pada masa itu. Rumah adat inilah yang difungsikan oleh raja untuk menyatukan masyarakatnya kedalam tatanan adat atau hukum di wilayahnya tanpa memandang dari suku atau puak mana dia berasal.

Jika menilik lebih jauh lagi, sesungguhnya kerajaan Belitung memiliki rumah kompleks atau semacam perkampungan. Karena di dalamnya. Adanya bangunan yang saling terpisah sesuai dengan fungsinya. Maka akan terdapat beberapa istana karena adik-beradik raja tinggal masing-masing, tidak menyatu dengan raja. Maka tak heran jika seputaran mesjid Jamik Tanjung Pandan dikenal dengan sebutan "Kampong Raje".

Mengapa pula rumah adat Belitong yang dibangun raja tersebut tidak bertingkat, padahal strata raja lebih tinggi statusnya. Ini menunjukkan bahwa raja bersangkutan egaliterian. Beliau tidak memaklumatkan hukum atau adatnya di istananya tapi lebih leluasa di rumah adatnya yang disebut dengan Ruma Gede tersebut.

Karena itu, sekali lagi Bangka Belitung dalam sejarah tradisi dan budayanya tak mengenal adanya rumah susun atau rumah tingkat sebagaimana yang di bangun di Anjungan Provinsi Kepualauan Bangka Belitung di Taman Mini Indonesia Indah. Janganlah kita mengada-ada. Bukankah masyarakat Melayu selalu mengutamakan Kejujuran, keterbukaan, dan Islami? Semoga kita tidak menjadi tulah menanggung akibatnya.


Tag Keyword : Rumah Adat Budaya Seni Culture Seni Art pulau Masyarakat Rakyat Orang Tradisi Tradisional Bangka Belitung Babel TMII Indonesia






Foto Ian Sancin: pemerhati budaya Bangka Belitung,  pengasuh situs budaya www.begalor.com

Penulis Ian Sancin: pemerhati budaya Bangka Belitung, pengasuh situs budaya www.begalor.com


Feature UBB

Berita UBB

UBB Perspectives